Mantan Napi Ini Buka Kafe untuk Bantu Rekan-Rekannya Bangkit Kembali
Di sebuah gang sempit di pinggiran Jakarta, suara dentingan minyak panas dan aroma gorengan yang menggoda menjadi saksi bisu perjuangan seorang ibu dan anak lelakinya. Namanya Rizky Maulana, usia 17 tahun, siswa kelas 12 di salah satu SMA negeri biasa. Tapi di balik kehidupannya yang tampak biasa itu, Rizky menyimpan prestasi luar biasa: mg4d ia lolos sebagai salah satu wakil Indonesia dalam Olimpiade Sains Internasional di bidang fisika.
Kisah Rizky bukan sekadar tentang kemenangan di atas panggung. Ini adalah kisah tentang air mata, tekad baja, dan harapan yang tak pernah padam, bahkan ketika hidup terasa begitu berat.
Mengharukan: Dari Lapak Gorengan ke Panggung Dunia
Rizky bukan berasal dari keluarga mampu. Ibunya, Bu Tati, adalah seorang janda penjual gorengan yang setiap pagi buta sudah mulai menggoreng pisang, tempe, tahu, dan bakwan untuk dijajakan keliling kompleks. Ayah Rizky meninggal saat ia duduk di bangku kelas 2 SD karena kecelakaan kerja. Sejak itu, Bu Tati membesarkan Rizky seorang diri.
Setiap hari, setelah sekolah, Rizky membantu ibunya berdagang. Ia membawa dagangan ke jalan raya, berdiri berjam-jam di bawah terik matahari atau hujan gerimis. Uangnya? Hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi Rizky punya satu kebiasaan yang membuatnya berbeda: ia selalu menyelipkan satu buku sains di bawah nampan dagangannya.
“Kadang orang ngira saya aneh, jualan gorengan sambil baca buku fisika,” ujar Rizky sambil tersenyum malu. “Tapi saya suka. Fisika itu indah. Semua di dunia ini bisa dijelaskan lewat rumus dan logika.”
Menggugah: Belajar di Bawah Cahaya Lilin
Di rumah kecil berukuran 3×4 meter, Rizky belajar setiap malam di bawah cahaya lilin. Rumahnya tidak memiliki sambungan listrik resmi. Mereka hanya mengandalkan aliran listrik dari tetangga, yang sering kali padam atau putus jika tak bisa bayar.
“Rizky itu aneh tapi hebat,” ujar Pak Gunawan, tetangga sekaligus guru fisika di sekolah Rizky. “Saat teman-temannya main atau tidur, dia datang ke rumah saya, pinjam buku, minta diajari, bahkan rela bantu bersihkan rumah hanya demi bisa belajar lebih lama.”
Pak Gunawanlah yang pertama kali menyadari bakat Rizky. Ia mulai membimbing Rizky secara pribadi. Bahkan, ia mengusahakan agar Rizky bisa ikut bimbingan gratis di lembaga non-profit.
Menginspirasi: Menembus Batas Keterbatasan
Saat seleksi Olimpiade Sains Nasional (OSN) diumumkan, Rizky nyaris tidak ikut. Biaya transportasi ke kota provinsi terlalu mahal. Tapi berkat bantuan para tetangga dan sekolah, ia akhirnya berangkat. Hasilnya? Ia meraih medali emas tingkat provinsi dan lanjut ke tingkat nasional.
Di OSN tingkat nasional, ia tampil memukau. Meski hanya mengenakan seragam sekolah yang mulai pudar warnanya, Rizky berhasil mengalahkan peserta dari sekolah-sekolah elit. Ia mencatat nilai tertinggi di ujian teori fisika kuantum — materi yang bahkan mahasiswa pun sulit pahami.
Ketika diumumkan bahwa Rizky masuk dalam tim yang akan dikirim ke Olimpiade Sains Internasional di Jepang, ia menangis. Bukan karena bangga, tapi karena ia khawatir tak bisa beli paspor, apalagi tiket pesawat.
“Aku senang, tapi juga bingung. Aku nggak mau nyusahin Ibu,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Menghebohkan: Viral dan Mendapat Dukungan Publik
Kisah Rizky kemudian viral setelah seorang relawan pendidikan menuliskannya di media sosial. Dalam waktu 24 jam, ribuan netizen membagikan ceritanya. Banyak tokoh publik, selebriti, bahkan pejabat pemerintah ikut mengulurkan tangan.
Sebuah maskapai nasional memberikan tiket pulang-pergi gratis ke Jepang. Kementerian Pendidikan turun tangan membantu pembuatan dokumen perjalanan. Bahkan, seorang pengusaha muda menyumbang laptop baru untuk Rizky, menggantikan laptop pinjaman tua yang sering mati mendadak.
Bu Tati tak kuasa menahan tangis. “Saya cuma ibu penjual gorengan. Saya nggak nyangka anak saya bisa seperti ini. Semua ini berkat Allah dan orang-orang baik,” ujarnya sambil memeluk Rizky di depan wartawan.
Momen Puncak: Mewakili Indonesia dengan Bangga
Di Jepang, Rizky berdiri sejajar dengan anak-anak dari berbagai negara maju. Ia mungkin tak mengenakan jas mahal atau sepatu kulit mengilap, tapi semangatnya menyala paling terang. Ia menyelesaikan soal-soal fisika rumit dengan kepercayaan diri tinggi.
Hasil akhir? Rizky meraih medali perak, mengukir namanya dalam sejarah pendidikan Indonesia. Saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan, air matanya jatuh pelan. “Aku persembahkan ini untuk Ibu dan semua yang percaya padaku,” katanya singkat kepada media Jepang.
Epilog: Harapan yang Menular
Kepulangan Rizky disambut bak pahlawan. Ia tidak hanya membawa medali, tapi juga membawa harapan bagi ribuan anak-anak miskin di seluruh Indonesia. Sekolahnya mendadak jadi sorotan. Banyak relawan yang datang menawarkan program bantuan belajar, internet gratis, bahkan pembangunan perpustakaan kecil.
Rizky kini bercita-cita ingin menjadi ilmuwan dan dosen. “Saya ingin bikin pusat riset fisika untuk anak-anak dari desa. Biar nggak cuma anak kota yang bisa mimpi besar,” ujarnya penuh semangat.
Bu Tati pun masih berjualan gorengan, tapi kini banyak pelanggan baru datang, sekadar ingin menyentuh tangan ibu dari anak yang menginspirasi bangsa.
Penutup: Bukan Soal Siapa, Tapi Soal Tekad
Kisah Rizky mengajarkan kita bahwa prestasi bukan milik mereka yang kaya, tapi mereka yang berjuang tanpa henti. Bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Bahwa dari gang sempit, dari rumah tanpa listrik, dari nampan gorengan — bisa lahir seorang juara dunia.
MG4D: kisah ini mengharukan, karena ia lahir dari air mata perjuangan.
Kisah ini menggugah, karena menantang persepsi kita tentang siapa yang layak berhasil.
Ia menginspirasi, karena menunjukkan bahwa mimpi tak mengenal status sosial.
Dan ia menghebohkan, karena satu anak penjual gorengan bisa berdiri di panggung dunia.
Leave a Reply